Pages

30 August 2008

ESQ BERBASIS SPIRITUAL COMPANY: UNTUK KEPENTINGAN SIAPA?

ESQ BERBASIS SPIRITUAL COMPANY: UNTUK KEPENTINGAN SIAPA?

Oleh: Aji Dedi Mulawarman


1. PENDAHULUAN

Model spiritual company saat ini banyak mempengaruhi perusahaan baik Barat maupun Indonesia. Sebut saja model-model Spiritual company dari Zohar dan Marshall dengan Spiritual Capital-nya atau Ari Ginanjar Agustian dengan ESQ-nya. ESQ model Ari Ginanjar Agustian misalnya, tidak jauh berbeda dengan bentuk spiritual company yang ada. Tujuannya sama, yaitu dikembangkan untuk going concernperusahaan dengan mengadaptasi nilai-nilai universal berbagai agama yang memiliki kesamaan dan bersifat langgeng, seperti kejujuran, ketulusan, rendah hati, menghargai harkat kemanusiaan, rela berkorban demi kemashlahatan orang banyak, dan lainnya.

 

2. SPIRITUAL COMPANY SEBAGAI BAHAN DASAR ESQ

Apabila kita merujuk ke majalah SWA No 05/XXIII/1-14 Maret 2007 menyorotispiritual company sebagai topik utamanya, menegaskan bahwa merebaknyaspiritual company di Indonesia merupakan dampak dari perkembangannya di Barat seperti dilakukan oleh UPS, Southwest, Starbucks dan Timberland untuk melanggengkan perusahaan. Diungkapan Prama (SWA 2007, 38) bahwa jika perusahaan ingin sustainable dan berumur panjang, ia harus menganut nilai-nilai spiritual. Dengan begitu, integritasnya akan teruji dan dipercaya mitra bisnisnya.

Pesatnya penggunaan spiritualitas dalam perusahaan disamping untuk mempertahankan kemapanan perusahaan juga dapat memberikan kenyamanan bekerja bagi perusahaan. Kenyamanan karyawan diyakini dapat memberikan pemahaman kepada mereka bahwa bekerja bukan lagi sekedar untuk mencari nafkah atau bersosialisasi, melainkan ingin memberikan sesuatu yang bermakna bagi kehidupan. Mulai dari memberikan makna bagi teman sekerja, perusahaan, pelanggan, pemegang saham, pemerintah, bahkan bagi masyarakat sekitar perusahaan ataupun masyarakat luas (SWA 2007, 37). Pemikiran spiritualitas dalam perusahaan juga diungkapkan oleh Chappell seperti dikutip Brandt (1996), dengan spiritualitas akan memberikan koneksi secara menyeluruh antar personal, kepada perusahaan, komunitas, customers dan alam semesta. Ukuran keberhasilanSpiritual Company menurut Goenawan (2007) adalah karyawan merasa happy;perusahaan menerapkan pemberdayaan karyawan sebagai manusia seutuhnya; perusahaan memiliki integritas tinggi; proses berbagi tidak hanya dengan karyawan dan shareholders saja, melainkan kepada masyarakat , baik melalui program CSR ataupun kontribusi lain. Ujung akhir kepentingan spiritualitas dalam perusahaan menurut tim riset SWA (2007, 39) adalah untuk menghasilkan nilai-nilai organisasi (Value Based Organization) dengan output sebagai berikut:

1.     Menghasilkan perubahan sikap individu (seperti pencarian makna lebih pada pekerjaan pada karyawan, orientasi pada memberi/pelayanan pada orang lain).

2.     Menurunkan praktik penyelewengan dan pelanggaran wewenang (fraud).

3.     Meningkatkan citra/kredibilitas perusahaan di mata stakeholder.

4.     Mendongkrak performa perusahaan secara berkelanjutan. 


Menumbuhkan spiritualitas  dalam perusahaan sebenarnya merupakan mekanisme materialisasi dan spiritualities purposing untuk kepentingan pencapaian keuntungan maupun kebahagiaan. Lihat saja ternyata bentuk tiga level spiritualitas dalam perusahaan diorientasikan mulai pada level pertama, yaitu survival level(tahapan bertahan hidup) untuk meningkatkan keuntungan. Level kedua, ketika perusahaan telah mencapai level pertama, maka perusahaan harus mencapaisuccess level dengan menekankan hubungan (relationship dan networking) serta tumbuh dan berkembang (growing). Level ketiga, yaitu happiness level (level kebahagiaan) dengan cara selalu memberi (giving/services). Artinya spiritualitas dalam perusahaan adalah pendorong nilai moral sebagai penunjang nilai berpikir material untuk meningkatkan kinerja individu dan organisasi (SWA 2007, 36). Berikut ini digambarkan tiga level dalam Spiritual Company:

Gambar 1. Penerapan Nilai-nilai Spiritual dalam Spiritual Company

 


Terlihat jelas bahwa dalam tiga level tersebut nilai-nilai spiritual bukan merupakan aspek yang menjadi values utama, tetapi yang menjadi pola untuk mendapatkan value based organization. Nilai-nilai spiritual memang dipergunakan semaksimal mungkin untuk kepentingan going concern dan keuntungan perusahaan, bukan spiritualitas perusahaan itu sendiri.


3. IMPLEMENTASI SPIRITUAL COMPANY: PENERAPAN ESQ DI ELNUSA

Implementasi Spiritual Company model ESQ misalnya dilakukan oleh PT. Elnusa. Penerapan ESQ di PT. Elnusa seperti dilansir majalah Human Capital edisi Maret tahun 2005 (http://www.portalhr.com/majalah/edisisebelumnya/strategi/1id155.html) menjelaskan bahwa PT Elnusa selama ini sudah tertuang dalam nilai-nilai perusahaan, yakni clean, respecfull, and synergy. Tiga semboyan itu, menurut Odang Supriatna, HR Manager Elnusa, telah ditanamkan kepada seluruh karyawan. Dengan prinsip itulah Elnusa mencoba mengelola perusahaan secara lebih bersih dan beretika.

Elnusa menurut Odang yang banyak melibatkan subkontraktor dan supplier, Elnusa memang rentan terhadap praktek kolusi, korupsi dan nepotisme. Namun, lanjut Odang, manajemen sudah menetapkan garis batas operasional perusahaan yang secara tegas melarang setiap karyawan menerima komisi dari pihak lain "Di Elnusa sudah tumbuh budaya bahwa menerima komisi merupakan suatu aib yang sangat besar," kata Odang.

Berangkat dari pemahaman tersebut, lanjut Odang, pihaknya menemukan konsep SQ yang belum ditemukan di pelatihan lain. Awalnya, karyawan Elnusa mengikuti ESQ yang diajarkan oleh Ary Ginanjar pada sekitar 3,5 tahun lalu melalui Elnusa Workover Service. Ternyata, kata Odang materi yang disampaikan sangat bagus. Kemudian, Odang mengusulkan agar seluruh karyawan Elnusa, mulai dari direksi hingga staf mengikuti ESQ.

Spiritualitas di sini bila ditilik lebih jauh berkenaan dengan kepentingan perusahaan dan lebih teknis lagi dalam konteks aliran kas ternyata  bertujuan untuk mencapai aliran kas perusahaan lebih tinggi dengan menetapkan ketentuan syari'ah (zakat) sebagai spirit seperti dilakukan PT. Elnusa. Setelah melalui masa-masa sulit selama lima tahun, PT. Elnusa seperti dikutip SWA (2007, 46) berhasil melakukanturnaround pada 2005 dan mencatat laba usaha tujuh puluh sembilan miliar rupiah atau melonjak 318% dibanding 2004 yang hanya sembilan belas miliar rupiah. Melalui efisiensi sepanjang tahun 2005 perusahaan telah membuktikan dapat meningkatkan labanya. Pada tahun 2009 perusahaan menargetkan peningkatan pendapatan hingga enam triliun rupiah. Penetapan angka enam triliun rupiah menurut Direktur Utama PT. Elnusa Rudi Radjab dengan ide memperbesar nilaizakat 2,5% kepada masyarakat:

Zakat 2,5% adalah tabungan akhirat untuk seluruh karyawan Elnusa. Karena itu, kami ingin memberi zakat double digit dari 2,5% yang ditetapkan... Dengan begitu keuntungan yang harus dicapai perusahaan adalah enam ratus miliar rupiah. Itu mimpi kami. Jika enam ratus miliar rupiah itu merupakan 10% dari revenuetotal revenue yang harus dicapai adalah enam triliun rupiah. Tabungan 2,5% itu menjadi dorongan yang kuat hingga ke karyawan lapisan bawah. Karyawan ikut termotivasi mencapai target itu karena mereka merasa bekerja untuk beribadah.


Spiritual Company seperti itu berdampak pada pertumbuhan bisnis sebesar  10-15% per tahun. Dari hanya empat karyawan pada saat didirikan, Internusa telah diperkuat empat ratus karyawan dengan duabelas cabang di seluruh Indonesia. Luar biasa. Tetapi, apakah seperti itu spiritualitas dalam perusahaan? Apakah spiritualitas hanya dijadikan alat untuk memperbesar keuntungan perusahaan? Simplistis sekali.


4. INTUISI SPIRITUAL: ANTITESIS SPIRITUAL COMPANY

Jadi sebenarnya, kepentingan spiritual company dan ESQ merupakan agenda menanamkan nilai-nilai spiritual karyawan dan seluruh potensi internal perusahaan untuk memperbesar keuntungan perusahaan. Caranya, dalam konteks ESQ misalnya adalah dengan melakukan kesadaran spiritual menangkap zakat dan nilai-nilaishadaqah Islam dengan ketundukan setiap pengelola perusahaan untuk memajukan dan membesarkan perusahaan. Mudahnya, zakat dan nilai-nilai kebaikan maupunshadaqah dalam Islam dijadikan alat untuk memperbesar keuntungan dalam perusahaan. Lebih konkrit lagi, mungkin dapat dikatakan spiritualitas Tuhan dijadikan alat untuk kepentingan perusahaan.

Spiritualitas dalam perusahaan seharusnya didekati dengan apa yang saya namakan dengan Intuisi Spiritual. Intuisi spiritual sebagai inti dari perusahaan menekankan pentingnya nilai-nilai spiritual, katakanlah Islam, sebagai tujuan awal, proses dan akhir dari setiap agenda berusaha (baik internal perusahaan, karyawan, maupun perusahaan). Nilai-nilai Islam bukan dijadikan alat untuk memperbesar perusahaan, tetapi nilai-nilai Islam dijadikan sebagai sumber inspirasi perusahaan, karyawan dan internal perusahaan untuk menggapai cita-cita Islam itu sendiri.

Secara konseptual, Intuisi spiritual bukan merupakan pendekatan seperti spiritual company, tetapi pendekatan keseimbangan pilihan bagaimana meraih nilai lebih atas materi berbentuk ekonomi, sosial dan lingkungan dalam lingkup nilai-nilai spiritual. Intuisi spiritual adalah alat bagi setiap individu dan organisasi untuk memberikan keseimbangan nilai lebih ekonomi, sosial dan lingkungan. Intuisi spiritual mengarahkan para individu dalam organisasi bahwa pencarian ma'isyahuntuk pencapaian nilai tambah tidak hanya dalam ukuran ekonomi, tetapi pencapaian nilai tambah juga berhubungan dengan ukuran sosial dan lingkungan. Aliran kas yang didapat dari penerapan intuisi spiritual bukan meletakkan aliran kas keutamaannya untuk penilaian nilai tambah dalam bentuk ekonomi, tetapi aliran kas sosial dan lingkungan juga merupakan nilai tambah itu sendiri, yang disebut barakah. Keseimbangan aliran kas di sisi ekonomi, sosial dan lingkungan dalam bentuk barakah merupakan pembagian atas nilai tambah yang didapatkan pada tiga titik tersebut dalam koridor utama, ketentuan syara'. Sekali lagi ditekankan di sini nilai-nilai Islam dan tujuan syari'ah bukan menjadi alat untuk menetapkan tujuan perusahaan, seperti digagas dalam spiritual company. Berikut digambarkan bentuk spiritualitas yang lebih baik dan lebih substansial sebagai awal, proses dan akhir dari seluruh aktivitas:

Gambar 2. Penerapan Nilai-nilai Spiritual dalam Intuisi Spiritual

Ujung penerapan intuisi spiritual mengarah pada akuntabilitas sekaligus apa yang disebut dengan  Rezeki yang Barakah. Rezeki yang Barakah merupakan konsep nilai tambah dari realitas transaksi bukan dalam konteks material bertambah saja, tetapi juga berkaitan dengan transaksi material yang mungkin berkurang secara lahiriah, tidak bisa terlihat langsung secara indrawi dan lahiriah namun terkadang bisa terasakan. Sesuatu yang dirasakan mempunyai nilai tambah padahal lahirnya tidak atau malah berkurang, dikatakan mempunyai barakah. Melakukan seuatu tanpa membaca basmalah secara lahir tidak berbeda dengan melakukannya dengan membaca basmalah, namun dengan basmalah ada nilai tambah yang tidak terlihat tapi terkadang terasakan. Karena barakah sifatnya batin, maka ciri-cirinya tidak semua bisa kita lihat dengan indera. Terkadang keberkahan bisa dirasakan, misal mendatangkan manfaat yang lebih dari pekerjaan yang dilakukan atau sesuatu yang dimiliki. Contohnya seorang yang mempunyai ilmu meskipun sedikit tapi bermanfaat bagi masyarakat, ini termasuk tanda-tanda ilmu tersebut diberkati. Demikian juga harta yang bisa dimanfaatkan untuk kemasalahatan merupakan tanda-tanda diberkahi. Ada harta yang meskipun jumlahnya banyak tapi tidak begitu berguna. Barakah juga tidak hanya bersifat materi dan non materi, tetapi juga bersifat sosial dan lingkungan.

 

5. CATATAN AKHIR

Mudahnya, intuisi spiritual menekankan pada satu hal, nilai-nilai spiritual harus menjadi substansi, bukan menjadi alat. Nilai-nilai spiritual menjadi tujuan awal, proses hingga tujuan akhir. Artinya, perusahaan adalah alat dilakukannya penyadaran pentingnya manusia sebagai makhluk Tuhan, berproses menjadi perusahaan yang dikerangka dalam spiritualitas Ketuhanan, untuk mencapai tujuan tertinggi dalam kesadaran, sebagai manusia yang selalu tunduk pada ketentuanNya (sebagai 'abd Allah) sekaligus lahan untuk menjalankan fungsi manusia sebagai wakilnya (khalifatullah fil ardh).

Aplikasi fungsi 'abd Allah adalah ketundukan menjalankan perusahaan sesuai ketentuan dan tujuan - katakanlah Islam. Perusahaan harus bebas dari hal-hal yang buruk, tidak sesuai karakter Islam, seperti produk harus halal misalnya, thoyib dan bebas riba. Aplikasi fungsi khalifatullah adalah kreasi menjalankan perusahaan untuk kepentingan diri perusahaan tapi tidak lupa dengan kepentingan sosial maupun lingkungan. Wallahualam bishawabBillahittaufiq wal hidayah.

17 August 2008

MAKNA PROKLAMASI DALAM BEREKONOMI: Dari Hijrah Menuju Idul Fitri

Oleh: Dr. Aji Dedi Mulawarman

Abstraksi

Implementasi proklamasi seperti termaktub dalam naskah proklamasi itu sendiri yang dibacakan oleh Soekarno atas nama rakyat Indonesia, yaitu kata KEMERDEKAAN. Makna dan substansi dari kata kemerdekaan bisa diartikan Independence atau Freedom. Dalam tradisi Islam makna Independence atau Freedom sedikit berbeda, bukan hanya berkenaan dengan kemandirian ataupun kebebasan saja, tetapi lebih jauh dari itu, yaitu IDUL FITRI. Idul Fitri yang menekankan pada kata FITRAH adalah makna paling baik dalam Islam yang merefleksikan Kemerdekaan. Karena FITRAH sebenarnya telah dicontohkan Rasulullah sebagai tonggak kemandirian setiap Muslim dalam menjalankan kehidupannya, melalui HIJRAH. Hijrah di Indonesia adalah hijrah dari penindasan menuju kebebasan. Semangat bebas dari penindasan ekonomi merupakan agenda penting di era neoliberalisme sekarang.  

Makna terpenting dari proklamasi berekonomi Indonesia saat ini, sekarang ini, bukan lagi hanya mengenang dan merefleksikan pembebasan diri para pejuang kemerdekaan untuk benar-benar bebas dari penindasan militer asing. Makna proklamasi berekonomi adalah menjalankan Hijrah menuju Fitrah Manusia Indonesia, Fitrah Rakyat Indonesia, Fitrah Negara Tercinta ini dari penjajahan Ekonomi yang tengah melanda negara ini. Proklamasi Berekonomi untuk membebaskan diri dari Penjajahan Ekonomi berjubah Neoliberalisme melalui Regulasi, Liberalisasi dan Perdagangan Bebas. Inilah makna utama dari Proklamasi Berekonomi.

 

 

PENDAHULUAN

Proklamasi adalah saat paling penting dari seluruh rakyat Indonesia, proklamasi 17 Agustus 1945 adalah peristiwa kemerdekaan Indonesia. Momentum Proklamasi adalah momentum deklarasi nasional seluruh rakyat Indonesia menuju kebebasan hakiki setiap manusia. Setiap manusia berhak atas kehidupan yang mandiri, berdaulat, mendapatkan hak-hak hidupnya, hak-hak individunya, hak-hak bermasyarakatnya, hak-hak politik, hak-hak hukum, hak-hak ekonomi, hak-hak bersuara, hak-hak berkumpul dan menyampaikan pendapatnya, serta yang paling penting adalah hak-hak untuk tidak ditindas oleh orang, lembaga maupun negara lain, hak untuk menikmati rezeki serta barakah dari Allah. 

Implementasi proklamasi seperti termaktub dalam naskah proklamasi itu sendiri yang dibacakan oleh Soekarno atas nama rakyat Indonesia, yaitu kata KEMERDEKAAN. Makna dan substansi dari kata kemerdekaan bisa diartikan Independence atau Freedom. Dalam tradisi Islam makna Independence atau Freedom sedikit berbeda, bukan hanya berkenaan dengan kemandirian ataupun kebebasan saja, tetapi lebih jauh dari itu, yaitu IDUL FITRI. Idul Fitri yang menekankan pada kata FITRAH adalah makna paling baik dalam Islam yang merefleksikan Kemerdekaan. Karena FITRAH sebenarnya telah dicontohkan Rasulullah sebagai tonggak kemandirian setiap Muslim dalam menjalankan kehidupannya, melalui HIJRAH. BAGAIMANA SEBENARNYA MAKNA PROKLAMASI KHUSUSNYA DALAM HAL PROKLAMASI BEREKONOMI?

 

MAKNA FITRAH DAN HIJRAH DALAM HIJRAH RASULULLAH: Perspektif Ekonomi

Fitrah secara etimologis berasal dari kata Arab yang berarti sifat, asal kejadian, kesucian, bakat atau tabiat. Fitrah biasanya dimaknai banyak ulama sebagai kesucian. Menurut KH. Hussein Muhammad (Pikiran Rakyat, 2005) fitrah terkait dengan hadits Rasulullah "Islam itu adalah agama fitrah". Islam sebagai agama fitrah juga telah ditegaskan dalam QS. 30: 30 sebagai berikut:

Maka hadapkanlah dirimu dengan lurus kepada agama (Allah), (tetaplah) atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia sesuai fitrahnya. Tidak ada perubahan bagi ciptaan Allah. Itulah agama yang lurus tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.

Hamka dalam tafsir Al-Azhar Juz XXI memperjelas makna fitrah dari ayat tersebut. Menurutnya kalimat "Fitrah Allah yang telah menciptakan manusia sesuai fitrahnya" menjelaskan bahwa setiap manusia harus selalu memelihara fitrahnya sendiri. Fitrah keaslian dan kemurnian dalam jiwa setiap manusia sebelum terintervensi pengaruh lain, yaitu mengakui adanya Allah sebagai pencipta, penguasa dan pemilik segala sesuatu di alam semesta.

Ragib al-Isfahani seperti dijelaskan AA Gym (Pikiran Rakyat, 2005) memaknai kata fitrah dengan merujuk pada kekuatan manusia untuk mengetahui agama dan Tuhan yang menciptakannya. Makna tersebut lanjut AA Gym selaras QS. 43: 87:

Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: "Siapakah yang menciptakan mereka?" mereka menjawab Allah. Maka bagaimanakah mereka dapat dipalingkan (dari menyembah) Allah?

 

Mengembangkan Ma'isyah berbasis Konsep Kembali ke Fitrah 

Bila dilihat hubungan antara konsep fitrah dan hijrah  yang dilakukan Muhammad saw., sebenarnya adalah untuk segera merealisasikan reorientasi pola pikir ekonomi sesuai sifat dasarnya, yaitu nilai ma'isyah. Agenda kembali ke fitrah atas nilai ma'isyah dapat ditelaah dari hadits Muhammad saw. ketika ditanya oleh sahabat beliau mengenai pekerjaan utama manusia. Beliau menjawab bahwa pekerjaan yang utama adalah pekerjaan tangan seseorang dan setiap jual-beli yang bersih (Al-Malibari 1993, 193). Hadits ini biasanya hanya dimaknai sepotong-sepotong, bahkan dianggap sebagai hadits jual-beli. Bila kita lihat lebih dalam makna hadits tersebut, jelas terdapat urutan dan kesatuan aktivitas bisnis. Berkenaan dengan urutan, ma'isyah yang pertama adalah aktivitas produksi (disimbolkan dalam pekerjaan tangan seseorang). Sedangkan ma'isyah kedua adalah jual-beli. Berkenaan kesatuan, Muhammad saw. menekankan kesatuan aktivitas produksi dan jual beli sebagai fitrah berusaha yang asali.

Kembali ke fitrah merupakan proses mengangkat kembali sifat dasar manusia untuk selalu dekat pada realitas masyarakat dan alam sekaligus. Kembali ke fitrah tidak hanya berkaitan dengan materialitas sifat dasar kemanusian, tetapi merupakan refleksi keimanan dan ketaatan seseorang melakukan ibadah. Aktivitas sesuai fitrah mensyaratkan adanya interaksi organis dengan alam sekaligus bekerja sama melakukan hubungan sosial penuh persaudaraan. Kembali ke fitrah diterapkan Muhammad saw. di Madinah pasca hijrah dalam bentuk persaudaraan antara kaum muhajirin (masyarakat Mekkah yang hijrah ke Madinah) dan anshar (masyarakat asli Madinah). 

Persaudaraan antara muhajirin dan anshar menurut Jazuli (2006, 274) telah mengukir nilai-nilai kemanusiaan dan sosial yang ideal. Nilai-nilai itu dimulai dengan kemuliaan nilai pekerjaan, yaitu gigih bekerja mencari rezeki (ma'isyah) untuk kebaikan diri, keluarga serta masyarakat. Ma'isyah sesuai fitrahnya dijelaskan Jazuli (2006, 275) dilakukan berdasar keadilan sosial bercirikan kebenaran, keadilan dan saling membantu. Berikut penjelasan beliau:

Tak diragukan lagi bahwa pengalaman yang dialami kaum Muhajirin di Madinah merupakan praktik amal pertama berdasarkan ajaran Islam yang dengan cepat memberikan produk dan hasil dengan multiefek. Efek yang dirasakan di kalangan mereka kaum muslimin saat itu dan egfek yang menjadi kontribusi besar bagi bangunan daulah Islam. Itulah tujuan pokok dari prinsip keadilan sosial masyarakat dalam Islam. Sebuah amal Islami adalah kekuatan yang terbentuk dari kerjasama antar personal dengan segala kekurangan dan kelebihannya sehingga menumbuhkan hubungan sosial kemanusiaan yang benar di antara manusia. Berdiri di atas kebenaran, keadilan, dan saling membantu. Ia menghapuskan nilai-nilai yang rusak yang selalu memihak si kuat dan menindas si miskin.

Bekerja sebenarnya memiliki kedudukan sejajar dengan iman sebagaimana ditegaskan Jazuli (2006, 275), disebut dalam Al Qur'an lebih dari tiga ratus kali. Kesejajaran iman dan bekerja ini dijelaskan oleh Dawwabah (2006, 31) dengan mengutip penegasan Rasulullah saw. (Riwayat Abu Hurairah ra.):

Sesungguhnya di antara jenis dosa ada dosa yang tidak dapat ditebus dengan shalat, puasa, haji dan umrah. Sahabat bertanya: "Lantas apa yang bisa menebusnya ya Rasululah?". Beliau menjawab: "Yaitu kesungguhan dalam mencari rezeki." 

Ma'isyah sebagai dasar bekerja, lanjut Jazuli (2006, 275), apabila dijalankan dengan sungguh-sungguh baik untuk kepentingan diri pribadi maupun untuk masyarakat, serta untuk memenuhi kebutuhan secara materi dan maknawi, diletakkan posisinya sejajar oleh Allah dengan keimanan.

 

Mengembangkan Rizq berbasis Konsep Mengkreasi Fitrah

Rasulullah melihat bahwa pola perdagangan dan mendapatkan rezeki penduduk Mekkah telah meninggalkan sifat alam dan tradisi sehingga membentuk masyarakat Arab kapitalistik. Rasulullah kemudian melakukan proyeksi baru melalui hijrah ekonomi. Hijrah ekonomi menyeimbangkan pola dagang masyarakat Mekkah dengan pola produktif masyarakat Madinah. Seperti diketahui mata pencaharian utama masyarakat Madinah adalah pertanian, di samping pertambangan, kerajinan dan juga jual beli. Uswah Muhammad saw. pasca hijrah menempatkan keseimbangan mendapatkan rezeki bercirikan keseimbangan tiga pilar ekonomi, yaitu rezeki produktif, rezeki ekstraktif, dan rezeki intermediasi.

Penyadaran mengkreasi fitrah untuk mendapatkan rezeki yang tidak mementingkan kekayaan materi terutama akibat aktivitas intermediasi berlebihan. Mementingkan aktivitas intermediasi berlebihan jelas menegasikan relasi "batin" manusia, masyarakat serta alam.  Aktivitas intemediasi berlebihan juga akan mereduksi nilai-nilai spiritualitas yang asali. Mendapat rezeki yang hanya dijalankan dalam salah satu rantai ekonomi, yaitu intemediasi seperti perdagangan atau commerce, akan meruntuhkan sistem ekonomi secara keseluruhan.

Hatta (1947, 56) menjelaskan bahwa rantai ekonomi (perniagaan), memiliki tiga rantai utama, yaitu perniagaan mengumpulkan, perantaraan dan membagikan. Perniagaan mengumpulkan berada dalam domain ekonomi produksi, perniagaan perantaraan berada dalam domain perdagangan antara perusahaan besar, sedangkan perniagaan membagikan adalah pertemuan antara pedagang dan pembeli. Ketika sistem ekonomi hanya berputar pada kepentingan perdagangan dan menegasikan kepentingan perniagaan pengumpulan maupun membagikan, maka yang terjadi adalah penumpukan kekayaan pada titik perniagaan perantaraan (intermediasi) dan permainan harga yang dominan. Dampaknya adalah reduksi kepentingan produsen dan konsumen, bahkan alam.

Jalan tengah yang dilakukan Muhammad saw. untuk mengkreasi fitrah, yaitu mensinergikan usaha produktif, ekstraktif dan intermediasi. Caranya mempertemukan tradisi intermediasi kaum muhajirin (dagang dan jual beli) dengan tradisi usaha produktif dan ekstraktif kaum anshor (pertanian, kerajinan dan pertambangan). Aktivitas intermediasi tidak lagi dijadikan kegiatan utama mendapatkan rezeki. Aktivitas seperti bertani, beternak, berkebun, menjadi pengrajin, bertambang serta akitivitas lainnya juga memiliki kedudukan sama dan setara dengan berdagang. Bahkan Muhammad saw. misalnya menegaskan bertani adalah pekerjaan penuh keberkahan, sebagaimana sabdanya (Bablily 1990, 134-135):

Setiap tanaman yang ditanam seorang Muslim apabila dimakan maka ia menjadi shadaqah, dan apabila dicuri maka ia menjadi shadaqah, dan apabila dimakan binatang buas ia menjadi shadaqah, dan apabila dimakan burung maka ia menjadi shadaqah, dan tidaklah seorang Muslim mendapatkan bahaya kecuali shadaqah.

Ketika seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah:

Wahai Rasulullah kekayaan apakah yang paling utama? Maka beliau menjawab: Tanah yang subur, yang diolah oleh pemiliknya dan ditunaikan haknya waktu panennya.

Mengkreasi fitrah seperti telah dilakukan oleh Muhammad saw. dalam fase proses kembali ke fitrah, harus selalu dekat dengan sifat dasar manusia, yaitu dekat kepada masyarakat dan alam sekaligus. Aktivitas hidup harus selalu berinteraksi dengan alam sekaligus bekerja sama melakukan hubungan sosial penuh persaudaraan (antara muhajirin dan anshar). Mengkreasi fitrah berbentuk interaksi sosial-alam secara ekonomi diimplementasikan misalnya melalui perjanjian pembagian hasil panen pertanian 50:50 yang disebut muzara'ah dan musaqat ( As-Sadr 1989 dalam Karim 2004, 98 ). Caranya, kaum anshar diminta untuk tidak serta merta menyerahkan tanah ladang dan kebun kepada kaum muhajirin, tetapi kaum muhajirin diminta melakukan kerja sama bercocok tanam di atas ladang dan kebun milik kaum anshar. Langkah Muhammad saw. tersebut menurut As-Sadr (1989) dalam Karim ( 2004, 98 ) di satu sisi memberikan pekerjaan bagi kaum muhajirin, di sisi lain mendorong peningkatan aktivitas produksi sehingga hasil produksi lahan kaum anshar meningkat. Aspek penting lain adalah penguatan kerja sama, persaudaran dan jalinan silaturrahim yang terus menerus antara kedua pihak.

 

Mengembangkan Maal berbasis Kreasi Fitrah Menuju Kesejahteraan

Agenda ketiga Muhammad saw. menginginkan bentuk keadilan dan kedermawanan sosial setelah setiap Muslim mendapatkan rezeki. Keadilan dan kedermawanan sosial bagi Muhammad saw. sesuai sifat dasar kemanusiaan yang dijiwai nilai-nilai Ketuhanan. Proses ini dapat disebut sebagai "kreasi fitrah menuju kesejahteraan (from nature to the well-being of society)", dimana penentuan kepemilikan kekayaan berdasarkan keadilan sosial.

Keadilan sosial atau mashlahah, seperti telah dijelaskan di bab-bab terdahulu merupakan tujuan syari'ah itu sendiri. Mengapa keadilan sosial atau mashlahah dijadikan sebagai dasar tujuan syari'ah? Bila dilihat dari perspektif ekonomi pasca hijrah di Madinah, jelas sekali tujuan akhir dari setiap aktivitas ekonomi yang dicontohkan Rasulullah, adalah keadilan sosial, kesejahteraan sosial dan masyarakat serta alam. Masyarakat Muslim di Madinah setelah hijrah mempraktikkan kepemilikan maal atau kekayaan dalam perspektif kedermawanan. Kepemilikan kekayaan dalam perspektif kedermawanan merupakan antitesis kepemilikan kekayaan terpusat pada satu kekuatan tertentu seperti perilaku masyarakat Mekkah.

Penguasaan terpusat pada para saudagar berdampak kekuatan sosial dan politik yang tidak sehat. Monopoli dan oligopoli ekonomi menyebabkan lemahnya sistem kemasyarakatan. Ketika kekuasaan berada pada tangan pengusaha, maka masyarakat menjadi sub-ordinat yang "kalah", dan penguasa menjadi "simbol" serta "boneka" para saudagar. "Koreografi" kehidupan yang tertata secara timpang itulah yang ingin dirubah Muhammad. Caranya adalah melakukan hijrah sosial, politik, ekonomi, budaya yang dipayungi spiritualitas-keimanan dalam kerangka Islam.

Menurut Mulawarman (2006a, 286-287) pandangan mengenai keadilan berekonomi Islam berbeda dengan pandangan Barat. Islam melihat nilai keadilan sebagai keadilan Ilahi yang melandasi pemikiran ekonomi dan akuntansi dalam Islam sejak awal. Menurut Chapra (2000, 211) istilah adil dan keadilan dalam Al Qur'an menjadi penting sekali, karena dari istilah saja sampai mencakup tidak kurang dari seratus ungkapan yang berbeda-beda. Bahkan lanjut Chapra (2000, 212) Al Qur'an menempatkan keadilan sebagai bagian terpenting dalam struktur keimanan dalam Islam. Penegasan itu terungkap dalam Al Qur'an:

Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah karena adil itu lebih dekat kepada takqwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. ( QS. 5: 8 )

Keadilan Ilahi harus diwujudkan secara nyata dalam kesejahteraan sosial. Shihab (2000, 129) dalam Mulawarman (2006a, 286) menegaskan kesejahteraan sosial dimulai dari perjuangan mewujudkan dan menumbuhkan aspek akidah dan etika pada diri pribadi, karena dari pribadi yang seimbang akan lahir masyarakat seimbang.

AppleMark

 

MENUJU PROKLAMASI EKONOMI MELALUI PENDIDIKAN PENUH CINTA

Ketika ekonomi tidak bebas nilai, tetapi sarat nilai, otomatis ekonomi konvensional yang saat ini masih didominasi oleh sudut pandang Barat, maka karakter ekonomi pasti kapitalistik, sekuler, egois, anti-altruistik. Ketika ekonomi memiliki kepentingan ekonomi-politik MNC's (Multi National Company's) untuk program neoliberalisme ekonomi, maka ekonomi yang diajarkan dan dipraktikkan tanpa proses penyaringan, jelas berorientasi kepentingan neoliberalisme ekonomi pula.

Globalisasi dan neoliberalisme semuanya mengarah kepentingan ekonomi dengan alat bantu teknologi yang makin tak terkendali. Kepentingan pengembangan ekonomi dan teknologi neoliberalisme masih bertumpu self interest dan antroposentris. Kondisi seperti itu berdampak pada lalu lintas moneter dan penguasaan  teknologi serta produksi hanya terkonsentrasi pada segelintir perusahaan multinasional. Konsentrasi memunculkan hegemoni politik ekonomi dan menggeser kekuatan ekonomi negara berkembang menjadi pemain pinggiran yang tak pernah terselesaikan nasibnya. Negara dan ekonomi rakyat di dalamnya akan terhegemoni menjadi 'perusahaan jajahan kolonial' dari perusahaan multinasional. Bentuk hegemoni MNC's tersebut adalah sub-ordinat kekuasaan perusahaan multinasional, dan didukung pemerintahan yang juga korup. Bentuk konkrit hegemoni MNC's dalam akuntansi menurut Graham dan Neu (2003) dengan menerapkan teknologi dan praktik akuntansi yang dijalankan MNC's dalam bentuk tata kelola aliran kas dan praktik standarisasi. Tata kelola aliran kas dan praktik standarisasi dilakukan melalui sistem "aliran lintas batas melampaui ruang dan waktu". Keduanya jelas sekali bermuatan ekonomi politik untuk kepentingan MNC's melalui berbagai institusinya seperti IFM (International Financial Markets), IASB (International Accounting Standard Boards), IMF (International Monetary Fund), WTO (World Trade Organization), WB (World Bank), dan lainnya.

Banyak agenda membangun peradaban yang lebih baik, digagas dari segala penjuru. Membangun peradaban tidak dapat hanya dilakukan parsial. Membangun peradaban harus dilakukan secara bersama melalui mekanisme organis dengan kesamaan substansi menuju bentuk peradaban yang sama, Peradaban Islam berbasis Tawhid.

Salah satu tugas peradaban adalah proses pencarian dan penggalian (ilmu) ekonomi. Pencarian dan penggalian tidak dapat dijalankan hanya dengan proses adopsi tanpa adaptasi. Pencarian dan penggalian juga harus dilakukan dengan cara pencerahan sekaligus pembebasan sesuai realitas di mana ekonomi dikembangkan. Pembebasan dan pencerahan menurut Mulawarman (2006b) adalah proses mempertemukan dua dimensi praxis menuju pencerahan yang berujung perubahan pemahaman dan praxis baru. Habermas (Held 1980, 249-259) berusaha melakukan pertalian antara teori dan praxis yang telah ditanggalkan Marx dan Kapitalisme. Memahami praxis emansipatoris sebagai dialog-dialog dan tindakan-tindakan komunikatif yang menghasilkan pencerahan. Habermas menempuh jalan konsensus dengan sasaran terciptanya demokrasi radikal yaitu hubungan sosial dalam lingkup komunikasi bebas penguasaan.

Masalahnya, emansipasi lanjut Mulawarman (2006b) tidak mempertautkan sesuatu yang ada dan hanya bersifat material saja dengan komunikasi untuk membentuk makna baru. Emansipasi yang dilakukan di sini adalah melakukan redefinisi makna terlebih dahulu untuk kemudian dilakukan ekstensi makna baru dengan nilai-nilai etis, batin dan spiritual. Emansipasi di sini dilakukan dengan langkah penyucian batin maupun spiritual.

Menurut Mulawarman (2006c) melakukan perubahan melalui penyucian harus dimulai dari pendidikan ekonomi. Caranya adalah pencerahan (enlightenment) dan pembebasan (emansipation) tujuan pendidikan. Pendidikan ekonomi memegang peranan penting untuk memunculkan nilai-nilai baru dan konsep pembelajaran ekonomi pro-Indonesia. Tugas dan akuntabilitas akademisi ekonomi adalah tugas kesejarahan yang tak mungkin berjalan dan berhenti di satu titik tertentu, tetapi harus selalu melakukan proses perubahan sesuai dengan dinamika masyarakat. Seperti ditegaskan oleh Ainsworth (2001):

Perhaps, as educators, we spend too much time  trying to "prove" what we teach rather than striving to "improve" what and how we teach.

Pendidikan ekonomi sekular hanya cinta dunia dan berujung pada kepentingan keuntungan pribadi (antroposentrik) dan materialistik (kapitalistik) semata. Pendidikan ekonomi sekular diorientasikan pada self-interest dan kesadaran menikmati kesejahteraan materi. Pendidikan ekonomi yang asasi adalah pendidikan ekonomi dengan cinta. Cinta bukan hanya bersifat materi tetapi juga batin dan spiritual. Itulah truly love atau hyperlove (cinta melampaui). Pendidikan ekonomidengan cinta dengan demikian dijalankan untuk menumbuhkan dan membangun kesadaran insaniah, kesadaran menuju fitrah Ketuhanan, didasari rasa saling percaya dan kejujuran serta menghilangkan kecurigaan dan penghianatan.

 

AGENDA MENDESAK

Makna terpenting dari proklamasi berekonomi Indonesia saat ini, sekarang ini, bukan lagi hanya mengenang dan merefleksikan pembebasan diri para pejuang kemerdekaan untuk benar-benar bebas dari penindasan militer asing. Makna proklamasi berekonomi adalah menjalankan Hijrah menuju Fitrah Manusia Indonesia, Fitrah Rakyat Indonesia, Fitrah Negara Tercinta ini dari penjajahan Ekonomi yang tengah melanda negara ini.

Proklamasi Berekonomi untuk membebaskan diri dari Penjajahan Ekonomi berjubah Neoliberalisme melalui Regulasi, Liberalisasi dan Perdagangan Bebas. Pertama, Proklamasi Dekonstruksi Regulasi dengan cara melakukan revisi besar-besaran seluruh Undang-Undang serta Peraturan turunannya dari cengkeraman Kebijakan Ekonomi Pro MNC's (Multi National Company's). Kedua, Proklamasi Dekonstruksi Liberalisasi dengan cara melakukan revisi besar-besaran seluruh agenda penjualan aset dan perusahaan nasional maupun BUMN dari pemindahan saham kepada perusahaan maupun negara asing. Paling penting lagi adalah kemandirian berekonomi, salah satu caranya adalah nasionalisasi perusahaan-perusahaan demi terbentuknya kemandirian ekonomi nasional. Ketiga, Proklamasi Dekonstruksi Perdagangan Bebas dengan cara mengangkat potensi ekonomi rakyat lewat pemberdayaan dan bukannya memperdayai ekonomi rakyat sampai siap menjadi pelaku ekonomi di negeri sendiri dan mampu melakukan persaingan secara global. Tekanan pentingnya adalah pemerintah segera melakukan kebijakan komprehensif berdasarkan kepentingan ekonomi rakyat. Inilah makna dari Proklamasi Berekonomi dengan Cinta, Ekonomi penuh cinta atas rakyat Indonesia.

PERTANYAAN AKHIRNYA: APAKAH PROKLAMASI KITA DAPAT MEWUJUDKAN INDEPENDENCE, FREEDOM ATAU BAHKAN LEBIH JAUH MENJADI IDUL FITRI BAGI MASYARAKAT INDONESIA? Hanya Allah Yang Maha Tahu dan hanya kita yang memiliki fitrah sebagai manusia sebenar-benar manusia sajalah yang dapat mewujudkannya.

09 August 2008

LOVE BASED ACCOUNTING EDUCATION AND HYPERVIEW OF LEARNING

Oleh: AJI DEDI MULAWARMAN


Abstract

Love based accounting education is a concrete understanding about education interaction based on trust, honesty and to banish doubt and treasons. Love in education should always be directed towards love to Allah SWT.  This is Tawhid. By doing this, education will be freed from anthropocentrism, secularism and corporate hegemony. Love Based Accounting Education have consequences on learning process, since it would require Hyper View of Learning. Hyperview of learning added two learning conceptions to six learning conceptions proposed by Rossum and Shenk (1984) and Morton et al (1993) in Byrne and Flood (2004) which are: the increase of knowledge, memorizing, acquistion of facts, abstraction of meaning, an interpretive process and changing as a person,  with a self awareness with intuitive process, and an obedience activity in a spiritual way

 


Introduction

Mulawarman (2006b) explained that accounting education system in Indonesia nowadays has been pulled out of Indonesian society reality since it was brought by the west and adopted by Indonesia without any sinificant codification and adjustment of local values. Accounting is a product that is established and developed from values that were inherent in the society where accounting and accounting system were built (see Hines 1989; Morgan 1989; Tinker 1980; Mulawarman 2006a, etc). It is clear that accounting and accounting education system would transfer "secularization" values that possess main traits such as self- interest focus, emphasize bottom line profit, and claim only materialistic reality.

This secular values would impact in consequences that lead accounting education to three main characteristics (Mulawarman 2006b).

First, accounting education would become a "corporate hegemony trap" (Mayper et al. 2005) and incline to "fill" students in comprehending economic interests of corporations (Amernic and Craig, 2004). This long-established condition turns to "universal"  accounting "dogma" and could be seen as an evolution of positivistic economic approach (Truan and Hughes, 2003)

Second, learning conception that is conducted in Indonesia is still based on reproductive view of learning and used less constructive view of learning (Byrne and Flood, 2004)

Third, such learning conceptual would create students that are not able to solve changing contextual problems. Accounting education that uses reproductive view of learning obviously would not be able to see the importance of creating students to be the pioneers of society empowerment. They would turn to "individuals" and "strangers" to their own environment, and they would be more familiar to the business world that is flooded with millions of fund such as the stock market, rather than small and micro enterprises.

Based on these three problems, Mulawarman ( 2008 ) proposed Hyper View of Learning as the center of Love Based Accounting Education (Hyper Love). It is important to establish love based accounting education that reflects holistic accountability and morality. Accounting knowledge should not put an ontological boundary to mystical and metaphysical aspect such as done by the western modern science. This boundary is what has caused materialistic view. The most important thing is to be able to do an integration process as well as synergizing rationality and intuition towards spiritual values that would empower education development. Hyper love would give logical consequences to accounting education.

Logical Consequences of Love Based Accounting Education

Hyper view of learning (Mulawarman, 2006b) is an enlightenment and a liberation by agreeing that there is a greater accountability besides the accountability to shareholders/ market. This is an accountability towards employees, suppliers, society, nature and God. This is an accountability that is based on synergized love is both egoistic- altruistic and materialistic- spiritualistic. Logical consequence as a result of this widened accoutability would be the liberation of education system from corporate hegemony as well as would give an added value to accounting students. The liberation from corporate hegemony would enable accounting educators flexibility in concept distribution and accounting techiques balanced provision, such as proprietary theory based accounting technique for small enterprise, entity theory for enterprises that separate management and stock holders, or enterprose teory that comprises wider accountability. The liberation from corporate hegemony would in turn leads to search for accounting concept dynamic constructions by academicians, that would give larger scope than the accounting development based on entity theory that is presently dominant. This Value added aspects would create a wider understanding for the sake of accounting decision making that would be needed by accounting  students once they have graduated. They would  not make judgments based only on the interest that is co-opted by the corporation, but they would take into accounts the interest of  employees, labours and management. They would also possess emphaty to external environment, such as supliers, nature and especially their personal accountability to God. In tun, accountants that have gone through education which is free from corporate hegemony would improve the extension of emphaty such as the will to empower their society by creating accounting techniques and procedures that would be useful to micro, small, middle enterprises based on religious belief though without significant material rewards.

Other consequences as explained by Mulawarman (2006b) are on the learning conceptions of students. It is no longer normative that procedural learning, surface approach or even deep approach learning becomes a debate as to which one will be used, but it emphasizes all yet goes beyond all (hyper). It is therefore important to add Van Rossum and Schenk (1984) and Marton et.al. (1993) six learning conceptions with intuitive and spiritualistic approach. Eight conceptions of learning according to Mulawarman (2006b) comprises the following(Hyper view of learning):  the increase of knowledge, memorizing, acquistion of facts, abstraction of meaning, an interpretive process and changing as a person,  with a self awareness with intuitive process, and an obedience activity in a spiritual way.

Anothet consequence is to give each student ability to develop ideas, theories, accounting concepts that are relatively new with widenen accountability, not just with limited materialistic view (stockholders and society), but also with accountability that is  directed towards nature and God. Logical consequence of this hyper view of learning is that it does not longer see the need to emphasize on "sientific" methodology that is objective/ quantitative/ statistic/ possitivistic approach but would see the need to extend researches that are subjektive/ qualitative/ non-statistic/ non- possitivistic. Research process should be conducted to suit its needs.  



Pendahuluan

Mulawarman (2006b) menjelaskan bahwa sistem pendidikan akuntansi saat ini telah lepas dari realitas masyarakat Indonesia disebabkan sistem dan konsep pendidikan akuntansi dibawa langsung dari “dunia lain” (baca: Barat) yang memiliki nilai-nilai Indonesia sendiri tanpa kodifikasi dan penyesuaian yang signifikan. Akuntansi merupakan produk yang dibangun dan dikembangkan dari nilai-nilai yang berkembang di masyarakat dimana akuntansi dan sistem akuntansi dikembangkan (lihat misalnya Hines 1989; Morgan 1989; Tinker 1980; Mulawarman 2006a dan banyak lainnya). Akuntansi dan sistem pendidikan akuntansi mmemang membawavalues (nilai-nilai) “sekularisasi” yang memiliki ciri utama self-interest, menekankanbottom line laba dan hanya mengakui realitas yang tercandra (materialistik).

Konsekuensi nilai sekuler ini lanjut Mulawarman (2006b) telah mengarahkan pendidikan akuntansi dengan tiga karakteristik utama.

Pertama, pendidikan akuntansi sebagai desain ”perangkap hegemoni korporasi” (Mayper et.al. 2005) serta diarahkan untuk “mengisi” peserta didik dalam memahami kepentingan ekonomi (Amernic dan Craig 2004). Kondisi yang berlangsung lama ini kemudian menjadi “dogma” akuntansi yang “universal” dan dilihat sebagai evolusi pendekatan ekonomi positivistik (Truan dan Hughes 2003).

Kedua, pandangan pembelajaran yang dijalankan di Indonesia masih didasarkan pada konsepsi pembelajaran reproductive view of learning dan kurang menggunakan konsep “constructive view of learning (Byrne dan Flood 2004).

Ketiga, pandangan pembelajaran seperti ini menyebabkan mahasiswa tidak dapat menyelesaikan masalah-masalah kontekstual dan selalu berubah-ubah. Pendidikan akuntansi dengan pandangan pembelajaran reproduktif jelas tidak dapat melihat pentingnya membekali mahasiswa menjadi pionir-pionir pemberdayaan masyarakat. Mereka menjadi pribadi-pribadi yang asing dengan lingkungannya tetapi lebih akrab dengan dunia bisnis yang bergelimang peredaran dana ratusan miliar per hari di pasar modal.

Berdasarkan tiga masalah utama pendidikan akuntansi tersebut, Mulawarman (2008) kemudian mengusulkan Hyper View of Learning sebagai pusat dari Pendidikan Akuntansi Berbasis Cinta Yang Melampaui (Hiperlove). Mewujudkan pendidikan akuntansi berbasis cinta adalah akuntabilitas-moralitas yang berpusat pada nilai-nilai holistik. Ilmu akuntansi tidaklah melakukan pembatasan ontologis terhadap hal yang mistik dan metafisik yang telah dilakukan oleh Sain Barat/Modern yang menyebabkannya menjadi materialistik. Tetapi yang paling penting adalah melakukan proses integrasi dan sinergi rasio dan intuisi dan menuju nilai spiritual yang dapat memberi kekuatan dalam pengembangan pendidikan. Cinta yang melampaui memberikan konsekuensi-konsekuensi logis dalam pendidikan akuntansi. 

Konsekuensi Logis Pengembangan Pendidikan Akuntansi Berbasis Cinta

Bentuk hyper view of learning menurut Mulawarman (2006b) adalah pencerahan dan pembebasan dengan menyetujui perluasan akuntabilitas disamping untuk kepentingan shareholders/market juga terhadap karyawan, pemasok, masyarakat alam, dan Tuhan. Itulah akuntabilitas yang didasarkan cinta sinergis yang egoistis-altruistis dan materialistis-religius. Konsekuensi logis dari akuntabilitas yang diperluas, akan membebaskan sistem pendidikan dari hegemoni korporasi sekaligus memberikan nilai tambah (value added) bagi peserta didik/mahasiswa akuntasi. Lepasnya hegemoni korporasi akan memberikan keluasaan akuntan pendidik mendistribusikan konsep sampai dengan teknik akuntansi yang seimbang, seperti konsep dasar teoritis dan teknik akuntansi berbasis proprietary theory untuk perusahaan kecil, entity theory untuk perusahaan yang memisahkan manajemen dan pemilik/pemegang saham, atau enterprise theory yang mencakup akuntabilitas lebih luas. Lepasnya hegemoni korporasi pada gilirannya menggiring penggalian dan konstruksi dinamis konsep akuntansi bagi akademisi yang jauh lebih luas daripada yang selama ini ada dan didominasi pengembangan akuntansi berbasis entity theoryNilai tambah akan memberikan pemahaman lebih luas terhadap kepentingan pengambilan kebijakan akuntansi bagi para peserta didik ketika lulus. Bukan melakukan judgement yang di-kooptasi perusahaan, tetapi memiliki empati terhadap selain stockholders di dalam lingkungan intern perusahaan, seperti karyawan, buruh, manajemen misalnya. Empati juga akan muncul terhadap lingkungan eksternal perusahaan seperti pemasok, lingkungan alam dan terutama adalah akuntabilitas pribadinya kepada Tuhan. Pada gilirannya akuntan hasil pendidikan yang bebas hegemoni korporasi meningkatkan ekstensi empati seperti keinginan untuk melakukan pemberdayaan masyarakatnya dengan membuat teknik dan prosedur akuntansi yang bermanfaat bagi perusahaan mikro, kecil dan menengah, koperasi maupun perusahaan berbasis  religius tanpa dibayangi rewardmaterial signifikan.

Konsekuensi lainnya lanjut Mulawarman (2006b) adalah pada pembelajaran yang secara normatif tidak lagi ditekankan pembelajaran mahasiswa pada konsepprocedural learning dan surface approach dan juga bentuk konseptual deep approach to learning, tetapi menekankan pembelajaran kesemuanya dan sekaligus melampauinya (hyper). Pelampauan (hyper) dalam pendekatan pembelajaran berdasar enam konsepsi pembelajaran dari Van Rossum dan Schenk (1984) dan Marton et.al. (1993),  perlu  penambahan dua konsepsi pembelajaran, yaitu pendekatan intuitif dan spiritualitas . Delapan konsepsi pembelajaran (Hyper view of learning) menurut Mulawarman (2006b)  adalah sebagai berikut: the increase of knowledge, memorizing, acquistion of facts, abstraction of meaning, an interpretive process and changing as a person,  with a self awareness with intuitive process, and an obedience activity in a spiritual way.Konsekuensinya adalah memberikan bekal bagi setiap peserta didik atau mahasiswa akuntansi untuk dapat mengembangkan gagasan, teori, konsep akuntansi yang relatif baru dengan keluasan akuntabilitas, bukan bersifat materi yang terbatas (stockholders dan lingkungan sosial), tetapi juga mengarah pada akuntabilitas  lebih luas (alam dan Ilahiah). Konsekuensi logis konsep pembelajaran yang melampaui (hyper) ini kemudian tidak lagi mengutamakan dan melihat metodologi yang digunakan dalam riset akuntansi yang memiliki nilai scientific bila ber-”aroma” obyektif/kuantitiatif/statitistik/positivistik atau lebih menekankan pada riset yang ber-“aroma” subyektif/kualitatif/non-statistik/non-positifistik. Tetapi proses riset dapat dilakukan sesuai dengan kebutuhannya.  

Referensi:

Mulawarman, Aji Dedi. 2006a. Menyibak Akuntansi Syari’ah: Rekonstruksi Teknologi Akuntansi Syari’ah dari Wacana ke Aksi. Penerbit Kreasi Wacana Jogjakarta.

Mulawarman, Aji Dedi. 2006b. Pensucian Pendidikan Akuntansi. Prosiding Konferensi Merefleksi Domain Pendidikan Ekonomi dan Bisnis. Fakultas Ekonomi Universitas Kristen Satya Wacana. Salatiga, 1 Desember. 

Mulawarman, Aji Dedi. 2008. Pendidikan Akuntansi Berbasis Cinta: Lepas dari Hegemoni Korporasi Menuju Pendidikan Membebaskan dan Konsepsi Pembelajaran Yang Melampaui. Jurnal EKUITAS STIESIA. Juni.

IMPLEMENTATION OF REFINED HYPERVIEW OF LEARNING (rHOL) ON MANAGEMENT ACCOUNTING LEARNING PROCESS

By Ari Kamayanti and Aji Dedi Mulawarman 

Abstract from our article : IMPLEMENTATION OF REFINED HYPERVIEW OF LEARNING (rHOL) ON MANAGEMENT ACCOUNTING LEARNING PROCESS (AN ETHNOGRAPHIC STUDY)

Best Paper Awards in National Accounting Symposium-XI, at Tanjungpura University, INDONESIA, July 23-24 2008.

Abstract

The purpose of this paper is to describe the implementation of Love Based Accounting Education (LBAE) through refined Hyperview of Learning (rHOL) as the core of humanity learning process. The essence of rHOL is purification process. The result described its impacts on learning process to suit faith towards God to free accounting education from secularism and corporate hegemony. The implications on accounting students’ learning conceptions on three management accounting topics: ABC, TQM and BSC, that are definitely secular and support corporate hegemony, were portrayed by extending ethnography by phenomenology. This method is named exetnography. The presence of secularism and corporate hegemony cause the disregard for local values and local needs respectively. The role of educator has become an important factor in implementing rHOL since he/she must trigger and maintain the purification process throughout the learning process. The results were astonishing since there were shifts of students’ consciousness in three varying degrees (verstehen, critical, reconstruction/deconstruction). Both educator and students were enlightened since renewed consciousness to return to local values and local needs emerged as a result of rHOL implementation.


Keywords: LBAE, rHOL, Purification, ABC, TQM, BSC, Ethnography, Phenomenology, Exethnography